Dengan kata lain, ketika kekuatan ilahiah tersingkap, aksi ‘mati sebelum ajal’ mewujud dan realisasinya menjadi benar-benar jelas, bahwa keberadaan kita hanyalah pada sisi kesadaran kita. Setelah itu, kita bisa melepaskan keterikatan kita pada tubuh kita, menaikkan kesadaran kita menuju wilayah kewalian di tingkatan Diri Yang Tenang (Nafs-I Muthmainnah).
Inilah titik ketika diri ilusi tidak lagi mendefinisikan dirinya sebagai tubuh, keadaan yang dirujuk oleh para Sufi sebagai kejadian ‘menyatu dengan Allah’.
Alih-alih menafsirkan sang ‘dajjal’ sebagai figur yang diramalkan muncul sebelum kiamat kubra, kita dapat menafsirkannya sebagai keadaan diri ilusi yang menimpa kita sebelum kiamat pribadi kita, yakni, kematian kita. Kemudian, dalam konteks ini, kita dapat menguak makna dari apa yang mesti dilawan Mahdi (Juru Selamat), dan apa yang mesti dikalahkan Yesus dengan kekuatan ilahiahnya, yaitu sang dajjal. Tentu saja, semua ini hanyalah konsep-konsep simbolik. Mahdi mewakili ilmu Keesaan (tawhid) Islami yang merupakan kesetimbangan dari ketakbandingan Allah (tanzih) dan keserupaanNya (tasbih).
Sang Dajjal mewakili tasbih yang berlebihan dan kekeliruan dalam mengevaluasinya, yang menuntun kesadaran seseorang untuk meyakini “Aku adalah Tuhan” serta berupaya menjalaninya dalam lingkup jasmani.
Di sisi lain, Yesus mewakili mereka yang telah menyingkap realitas tashbih kepada kemanusiaan secara pribadi, mengambil peran sebagai ‘korektor’ terhadap kemungkinan penyimpangan. Dalam Sufisme, Yesus merupakan simbol ‘kedekatan’ (yaqiin) kepada Allah, juga dikenal sebagai penyingkapan kekuasaan Allah.
Setelah memahami kebenaran-kebenaran ini dengan semestinya, kita dapat mencapai realisasi ‘kefanaan’ kita, yang tersingkap dengan ilmu Kesatuan (wahdat), serta menundukkan kepala untuk bersujud dan memohon:
“Ya Allah, anugrahilah kami dengan kehidupan yang tercerahkan ...jelaskan, mudahkan dan sederhanakanlah ini bagi kami!”
Seperti dikatakan Nabi Muhammad (saw):
“Do’a yang paling disukai dan diterima adalah do’a yang dilakukan ketika bersujud” dan “posisi terdekat kepada Allah yang bisa didapatkan seseorang adalah ketika ia sedang bersujud.”
Karena itu, mari kita semua menempelkan kening kita di lantai untuk bersujud. Apakah dengan melakukan ini kita benar-benar bersujud? Ya, namun hanya berupa bentuk! Sujud yang sesungguhnya bukanlah imitasi formal, melainkan kesadaran akan ‘kefanaan’ diri dan pengakuan akan ‘Ketakhinggaan’ Allah.
Seseorang, yang bersujud dengan kesadaran ini, melihat Dia Yang Tak-Hingga melalui kefakiran dan kefanaan. Namun, orang yang hanya bersujud dalam bentuknya saja, egonya berdiri angkuh, keadaannya mengingatkan kita pada mereka yang disebut sebagai “punggung mereka bagaikan kayu, mereka tak akan mampu bersujud, dan setiap mereka mencobanya mereka akan terguling dan jatuh”!
Sesungguhnya, ‘sujud’ adalah keadaan ‘fana’, yang hanya dapat dicapai dengan menghilangkan identitas ilusi yang keliru. Sujudnya orang semacam itu bagai kesatuan dengan Allah, kedekatan yang istimewa. Dalam keadaan ini, orang ini bagai seorang pengamat, karena sifat-sifat ilahiah tersingkap dengan sendirinya dan kekuasaan ilahiah mewujud, ia melihatnya dalam sujudnya.
Mungkin selayaknya di sini disinggung masalah amalan ‘ruku’ (ruqu).
Telah diketahui bahwa sebelum masa Islam, cara-cara penyembahan mencakup posisi berdiri (qiyam) dan sujud. Namun mengenai ruqu, atau posisi membungkuk diperkenalkan oleh Nabi Muhammad (saw) sebagai bagian dari sholat (sembahyang 5 waktu).
Tapi mengapa? Mewakili apakah posisi ruku ini; mengapa hal ini penting?
Ruku dalam sholat adalah membungkukkan badan ke depan dari pinggang sekitar 90 derajat, sedemikian rupa seolah berdiri tegak dari kaki hingga pinggang sedangkan dari pinggang ke atas condong ke depan, seperti membentuk sudut siku-siku. Namun perbuatan ini apa maknanya?
Membaca Basmalah dan Al-Fatihah (surat pembuka Al-Qur’an), ketika berdiri tegak, merupakan penegasan terhadap kebenaran bahwa ‘ketegakan’ hanya mungkin dan patut ketika diterapkan sebagai khalifah Allah. Tidak membaca ayat-ayat ini merupakan bentuk sirik kepada Allah, dimana kita berisiko mengasosiasikan diri kita sebagai sekutu Allah.
Berbeda dengan itu, sujud merupakan penolakan terhadap diri dan pendeklarasian “Bukan aku, Engkau!”
‘Ruku’ karenanya merupakan titik tengah dari kedua posisi dan merupakan deklasari “Aku tahu memang aku ini hampa, secara intelektual aku tahu bahwa aku tiada dan hanya Emgkau yang ada, namun ilmu ini tak cukup untuk menghilangkan identitasku dan memungkinkan aku untuk memperoleh pengalaman praktis dari realitas ini, oleh karena itu, aku memohon ampunanMu...”
Ilmu Kesatuan (wahdat) tidak diberitahukan kepada umat sebelumnya; realitas yang lebih tinggi ini dibukakan kepada umat Muhammad (umat jaman sekarang). Meskipun demikian, nampak sekali bahwa tidak semua orang bisa mencapai pengalaman menggairahkan akan sejatinya sujud. Karena belas kasih lah, ruku diberikan sebagai alternatif, sehingga mereka yang tak bisa mengalami realitas sujud sedikitnya masih bisa membungkuk dengan kerendahan hati, dan secara intelektual menerima ketiadaan mereka.
Dalam keadaan dekat kepada Allah, ketika penyingkapan sifat-sifat ilahiah terjadi selama sujud, setiap keinginan menjadi titah Allah. Sebagaimana dinyatakan:
“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu jika Kami menghendakinya, kami hanya mengatakan ‘jadilah’, maka jadilah ia.” (Qur’an 16-40)
Karena demikian itu, marilah kita kembali kepada Allah.
Mari kita berdo’a agar terlindung dari Dajjal diri ilusi dan tidak terperangkap oleh identitas palsu kita. Mari memohon agar dikaruniai pencerahan akan Realitas dan KeEsaanNya. Mari sungguh-sungguh ‘berkeinginan’ agar tetap terbebas dari perbudakan kecanduan atau keadaan apapun yang mungkin merintangi perkembangan spiritual kita, sehingga akhirnya kita dapat meningkatkan kesadaran dan bersatu dengan Yang Esa.