Allah itu Al-Bashir. Dia yang Maha Melihat dan Maha Menilai! Bagaimana tidak? Hu sendiri lah yang sedang melihat dan yang sedang dilihat!
Tapi dimana ini terjadi?
Di dalam ilmunya Allah!
Meskipun kata-kata adalah hal yang lemah untuk mengekspresikan realitas dengan secukupnya, kita tidak mempunyai pilihan selain menggunakannya. Dan meskipun tidak memadai, dapat dinyatakan bahwa: ‘segala sesuatu yang timbul terjadi dalam ilmu dan imajinasi yang Esa yang ditunjuk oleh nama Allah.’
Sekarang, kita sampai kepada hal penting yang ke dua:
Jika hal di atas benar, lalu siapakah aku ini? Apa sebenarnya dunia, dan apa pula itu akhirat? Apa itu yang dinamakan surga dan neraka? Apa yang dimaksud dengan penghakiman, kitab, dan siksa kubur (qabir)? Siapa yang membuat usulan? Kepada siapa itu diusulkan? Apa usulannya?
Muhyiddin Ibn al-Arabi mengatakan:
“Hamba adalah Realitas, Rabb adalah Realitas!
Andai saja ku tahu siapa yang bertanggungjawab?
Jika ku katakan sang hamba, dia telah mati!
Jika aku katakan Rabb, bagaimana Rabb bisa bertanggungjawab?”
Berkaitan dengan topik yang sama, Imam Ghazali, ulama Islam dan wali yang terhormat yang hidup jauh sebelum ibn al-Arabi, mengatakan:
“Orang-orang yang tercerahkan akan naik dari lubang metafora ke puncak realitas, menyempurnakan kenaikan mereka, mereka akan melihat dengan jelas bahwa tidak satupun yang wujud, selain Allah!
Sumber ini adalah Allah, yang Ahad. Dia tidak bersekutu! Semua cahaya yang lain (Nur) hanyalah perwakilan-perwakilan. Satu-satunya cahaya sejati hanyalah Nur-Nya (Cahaya Ilmu yang merupakan sumber dan esensi dari segala sesuatu). Segala sesuatu diturunkan (berasal) dari CahayaNya. Sesungguhnya, segala sesuatu adalah Dia. Sebenarnya lah bahwa wujud itu adalah Dia. Wujud yang ditimbulkan hanyalah metafora, suatu perwakilan. Frase ‘Tidak ada Hu kecuali Hu’ merupakan realitas yang tidak mendua dari orang-orang pilihan. Itu menuntun mereka kepada kesatuan, KeEsaan!
Stasiun kenaikan (asensi) terakhir adalah alam kesendirian. Karena tidak ada lagi anak tangga untuk dinaiki setelah ini. Ketinggian (elevasi) hanya masuk akal di tataran keserbaragaman. Ketika keserba-ragaman menjadi usang, Kesatuan menjadi realitas. Relativitas menipis, isyarat-isyarat dan simbol-simbol menjadi tidak relevan lagi. Di titik ini, tidak ada lagi yang namanya tinggi atau rendah, tidak pula ada yang naik ataupun turun. Kemajuan tidak berlaku lagi, kenaikan menjadi kekosongan. Tidak ada lagi naik setelah kenaikan.
Tidak ada keserbaragaman pada kesatuan. Dengan lenyapnya keserbaragaman, konsep kenaikan (asensi) menjadi hampa. Orang yang mengetahui ini, akan tahu; sedangkan yang tidak tahu, akan mengingkarinya. Ini adalah ilmu esoterik dan rahasia, diberikan hanya kepada mereka yang mengenal Allah. Apabila mereka menerangkan ilmu ini kepada orang lain, hanya orang-orang yang sombong kepada Allah yang akan mengingkarinya.”[1]
Berdasarkan semua yang telah kita bahas sejauh ini, jelas sekali bahwa satu-satunya yang wujud hanyalah Allah! Tidak ada sesuatu yang lain selain Allah!
Siapa yang membuat usulan, dan kepada siapa?
Sifat dari realitas ini bagaikan matahari, yang panasnya tidak menyisakan satu tetes air pun dari komposisi realitas esensial yang berselimutkan es!
Meskipun demikian, kita tidak dapat mengabaikan ajaran Nabi Muhammad (saw) berkaitan dengan masa depan manusia. Karena selain realitas keEsaan, konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapi manusia di masa depan sebagai akibat dari perbuatannya sendiri juga merupakan realitas yang tidak dapat dihindari.
Dengan sesungguhnya bahwa kita semua adalah bentuk-bentuk ilmu, di dalam ILMUNYA yang Esa yang ditunjuk dengan nama ALLAH.
Menurut kami, kita hanyalah mahluk-mahluk sederhana yang tinggal di jagat-raya yang sederhana. Tapi, secara realitas kita hanyalah bentuk-bentuk ilmu di dalam ilmuNya!
Namun, karena dunia ini di dalam persepsi kita merupakan dimensi yang benar-benar absolut dengan banyak-sisi, kita tidak dapat melewatkan nilai-nilai istimewa yang telah disampaikan kepada kita.
[1] Ini adalah cuplikan dari buku Imam Ghazali Miskat Cahaya, kitab termasyhur yang mengandung ilmu esoterik. Imam Ghazali menyatakan bahwa beliau menulis buku ini hanya untuk mereka yang memiliki pemahaman yang lurus, suka merenung, dan bukan untuk masyarakat umum.