Pengantar
Buku ini diberi judul Allahnya Muhammad! Anda mungkin bertanya-tanya, ‘mengapa tidak dijuduli Allah saja? Mengapa harus Allahnya Muhammad?’
Tujuan saya menulis buku ini adalah untuk menjelaskan, sejauh pengetahuan dan kemampuan saya, bahwa Allah bukanlah sosok tuhan (berhala) dan bahwa konsep tuhan yang selama ini kita anut, akibat informasi dan pengkondisian yang menyesatkan, bukanlah Allah yang diterangkan oleh Nabi Muhammad Mustafa (saw).
Setiap orang, dari yang terpelajar hingga yang paling jahil, mempunyai konsep mengenai Tuhan.
Tuhan yang kita cintai, yang kadang kita marah kepadaNya, yang kita nilai dan bahkan kita tuduh, karena menurut kita telah berbuat salah terhadap kita! Kita membayangkan sosok Tuhan ini, yang duduk di atas sebuah bintang di langit atau tinggal di suatu tempat di luar angkasa, seperti layaknya figur ayah yang penuh kasih atau seorang sultan yang agung!
Baik kelompok orang-orang yang beriman yang menyatakan Tuhan dengan ilmu kabar angin dan pengkondisian-pengkondisian, maupun para ateis yang mengingkari dan menolak ide mengenai Tuhan, sama-sama tidak mengenal Allah sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi Muhammad (saw)!
Jadi apa sebenarnya realitas Allah yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad (saw)?
Saya akan mencoba menerangkan sejauh pemahaman saya, mengenai yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah, seperti yang diungkapkan kepada kita oleh Nabi Muhammad (saw), dengan cara yang beliau anjurkan kepada kita untuk memahaminya.
Saya awali dengan surat pendek dalam Al-Qur’an yang bernama ‘Al-Ikhlas’.
Surat ini dimulai dengan ayat “Qul huwallahu ahad…,” yang telah dihafal oleh setiap Muslim, namun hanya sedikit yang faham benar dengan maknanya yang lebih dalam.
Surat ini disamakan dengan sepertiga nilai dari seluruh Al-Qur’an!
Manusia yang jahil adalah dia yang tidak berilmu, orang bodoh adalah dia yang tidak mengetahui bahwa dia tidak memiliki ilmu, dan orang yang tolol adalah dia yang tidak faham akan kekurangpahaman dirinya. Al-Qur’an menekankan pentingnya kecerdasan dan selalu menyapa orang-orang yang berpikir, dan di sisi lain mengutuk orang-orang yang tidak menggunakan kecerdasannya. Al-Qur’an mendorong manusia untuk menggunakan kecerdasannya agar bisa melihat dan merasakan kebenaran.
Individu-individu tertentu yang melek huruf, walaupun kurang mampu untuk menggunakan kecerdasan mereka untuk berpikir, mengakui dirinya sebagai kaum intelektual dan mendasarkan ateisme pada keprimitifan Tuhan Qur’anik, dan karenanya menunjukkan tingkat ilmu mereka yang sebenarnya, atau dengan kata lain kurang berpikir.
Mahluk-mahluk cerdas harus merasa terdorong untuk menyelidiki setiap topik secara mendalam. Jika tidak, pengingkaran yang berlandaskan informasi yang tidak benar hanya akan memberikan hasil yang tidak menguntungkan.
Sayangnya, meskipun Nabi Muhammad (saw) mendekati topik agama secara gamblang dengan mencela konsep penyembahan berhala, dan secara terbuka menyatakan bahwa Allah itu Esa, satu-satunya, pesan beliau tetap saja disalahpahami.
Orang Barat mendekati yang Esa, yang ditunjuk dengan nama Allah, seolah bahwa Allah itu sosok Tuhan yang lebih agung dibanding tuhan-tuhan lain yang sebelumnya mereka dengar, karenanya berpaling jauh dari jalan yang benar.
Di dalam dunia Islam sendiri, cukup menyedihkan bahwa mereka pun tidak mengenal Allah sebagaimana yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad (saw), melainkan mendasarkan keyakinan mereka kepada Tuhan eksterior di langit sana.
Sementara banyak orang menghabiskan waktu mereka dalam debat tanpa akhir mengenai bentuk-bentuk dan formalitas-formalitas agama, hakikat sejati dari keimanan, yakni, beriman kepada Allah dan hal-hal yang disebutkan dalam Amantu[1]sama sekali diabaikan. Sebagai akibatnya, keyakinan dari kebanyakan orang didasarkan pada bid’ah yang tidak berdasar.
Landasan Islam bertumpu di atas fenomena Allah. ‘Tidak ada Tuhan untuk diidolakan dan diberhalakan. Hanya ada Allah!’ Pernyataan ini jelas-jelas menyinggung kepada fakta bahwa Allah bukanlah Tuhan-berhala! Lalu, siapa itu Allah?
Ini adalah pertanyaan yang dijawab oleh Nabi Muhammad (saw) melalui pewahyuan Al-Qur’an, ketika beliau berusaha menghentikan orang-orang dari mempertuhankan dan memberhalakan tuhan-tuhan eksternal, dengan mengingatkan mereka untuk tidak menanamkan harapan palsu kepada berhala-berhala khayalan dan membahayakan masa depan mereka.
Nabi Muhammad (saw), yang menyampaikan Al-Qur’an kepada kita, mengajari kita bahwa tidak ada Tuhan, hanya ada Allah; bahwa ada sebuah System di dalam kehidupan, yang barang siapa gagal memenuhinya, akan merasakan akibat dari tindakan-tindakannya sendiri.
Jika kita hidup dengan kesadaran akan keberadaan akhirat, perhatian utama kita semestinya adalah mengenal Allah dan kehidupan yang menanti kita setelah kematian, agar kita bisa mempersiapkan diri untuk itu.
Sebaliknya, jika kita menghabiskan hidup kita hanya untuk tujuan mengumpulkan harta duniawi dan mengabaikan investasi untuk kehidupan yang menanti kita setelah kematian, maka hendaklah diketahui dari sekarang bahwa kita tidak akan pernah mampu untuk menebus masa lalu kita.
Mengingat hal ini, marilah kita sekarang berusaha untuk memahami yang Esa yang ditunjuk dengan nama Allah seperti yang diungkapkan oleh Nabi Muhammad (saw). Mari kita melihat siapa sebenarnya Allah yang Nabi Muhammad (saw) ingin kita mengenalNya…
[1] ‘Amantu’ terdiri dari enam dasar keimanan Islam. Yakni beriman kepada: 1. Allah, 2. Malaikat-malaikat, 3. Kitab-kitab, 4. Para Nabi, 5. Kebangkitan dan kehidupan setelah kematian, 6. Qadar