Seluruh keberadaan dimaksudkan, dirancang dan dibentuk untuk penglihatan Realitas Muhammad (Haqiqat-I Muhammadiyyah) dan Aqal Pertama (Aql-I Awwal).
Jika Anda diciptakan untuk menjadi salah satu ‘pengamat’ makna-makna, maka melepaskan diri dari kelima indera dan emosi serta pengkondisian manusiawi akan menjadi mudah bagi Anda. Proses pembersihan cermin Anda dari emosi, pikiran, kondisi-kondisi, dan hasrat-hasrat jasadi dan kesadaran yang dapat mengaburkan Pencerminan, dan proses pencapaian hakikat diri Anda akan menjadi mudah bagi Anda.
Namun demikian, seperti halnya sebagian biji gandum menjadi terigu dan roti hingga akhirnya terhidang di meja makan; banyak yang lainnya tercecer di ladang dan menjadi tak berarti sama sekali.
Mencintai Nabi Muhammad SAW adalah dengan beramal seperti beliau, berusaha mencapai ilmu dan kesadarannya, melenyapkan diri di dalam dirinya.
Seseorang tidak akan dapat merasakan madu dari botolnya saja.
Mencintai adalah menjadi orang yang dicintai.
Pada akhirnya segala sesuatu akan memenuhi tujuan kodratnya dan kembali kepada esensinya, dan karenanya mengaktualisasikan pengabdian bawaannya kepada Allah.
“Semua binatang dan benda tak bergerak mengabdi kepada Allah.”
“Manusia dan Jin diciptakan untuk mengabdi kepada Allah.”
Semua ini mengandung satu arti: untuk apapun Anda diciptakan, anda akan melewatinya dengan cara apapun. Kehidupan, kondisi, ketrampilan yang diberikan kepada Anda, semuanya pada akhirnya akan mengarahkan Anda untuk melakukan pemujaan bawaan, yakni mewujudkan esensi sejati Anda, apapun itu adanya.
Tujuan akhir kita mungkin menjadi mabuk dan limbung dalam Alam Perbuatan (Af’al), atau bebas berenang dalam alam Nama-nama tak-hinggaNya (Asma), atau memanifestasikan dan melihat fitur-fitur DzatNya, atau merealisasikan ketiadaankita dan tak menjadi apapun dalam ketakhinggaanNya, Keberadaan tak-berbatas.
Bagaimanapun cara seseorang menjalani hidupnya, begitu pula cara ia akan menjalani kematiannya, dan bagaimanapun cara ia mati, begitu pula cara ia akan hidup di Akhirat.
Frekuensi otak kita sesaat sebelum titik kematian akan menjadi bit informasi terakhir yang diunggah ke ruh. Karenanya, ketika ruh terlepas dari otak, ia akan melanjutkan fungsinya pada frekuensi ketika terakhir diunggah.
Oleh karena itu, jika pada saat kematian, tingkat kesadaran kita kebetulan bekerja pada frequensi rendah, terkondisikan oleh kelima indera kita, dan terkurung oleh hasrat-hasrat duniawi dan jasadi, maka kita akan menjalani konsekuensi keadaan ini di Akhirat.
Jika sebaliknya, kesadaran kita kebetulan bergetar pada frekuensi tinggi, terbebas dari pengkondisian indera, kita akan mencapai tingkatan Para Pelihat Kebenaran, memandangi dan melihat karunia tak-hingga akan Nama-namaNya yang mengekspresikan dirinya dengan sangat unik dan luar biasa pada ciptaan. Yaitu, tingkatan ‘mencintai ciptaan, karena Sang Pencipta’!
Mereka adalah orang-orang yang oleh masyarakat umum dikatakan: “orang dan kehidupan di tataran lain … Ia berjalan, duduk, makan dan minum seperti kita, namun ia tak seperti kita! Siapa yang tahu dimana mereka kini?”
Ia akan berenang di samudera makna-makna dalam dimensi kesadaran… Ia terkagum-kagum dalam dimensi Nama-nama Allah.
Sebagian dari mereka yang mencapai keadaan ini menjadi terhijab dari apa yang terjadi di alam jasad, sementara sebagian yang lain menjalani kedua dimensi secara bersamaan. Keadaan ini biasa disebut sebagai Jiwa yang Tenang (Nafs-I mutmainna) dan Jiwa yang Puas/Ridha (Nafs-I Radhiyya) dan ini merupakan keadaan yang dicapai seseorang setelah mengetahui realitas jiwanya.
Kesadaran akan takjub di tengah-tengah makna dalam alam Refleksi Nama-nama (Tajalli Asma) mengetahui bahwa mereka sesungguhnya adalah makna-makna dari jiwanya sendiri.
Kemudian, jika kesadaran dapat naik ke tingkatan berikutnya yang disebut Jiwa yang Diridhai (Nafs-i Mardhiyya), ia akan mencapai titik aktualisasi sifat-sifat dzatnya… Ini adalah titik peniadaan diri di dalamNya, dimana gunung es telah meleleh, dan ia yang melihat makna-makna di dalam dirinya telah menjadi dirinya sendiri.
Kebenarannya: manifestasi dari makna-makna ini pada seseorang merupakan masalah takdir.
Yang paling penting adalah esensi tipikal (a’tan thabita); dengan kata lain, makna-makna diciptakan agar teraktualisasi. Tahap selanjutnya adalah keterampilan dan kemampuan yang diberikan padanya agar bisa memenuhi aktualisasi ini. Kemudian perjumpaan dengan sang ‘penyebab’ akan terjadi, yakni subyek yang memberikan perangkat untuk mengaktualisasikan pola dasarnya. Ketika individu menyerahkan keberadaannya kepada penyebab ini, dan pada akhirnya meniadakan dirinya di dalam penyebab dan menjadi bukan apa-apa, esensi tipikalnya akan mewujud dengan sempurna.
Dari titik menjadi manusia…
Dari manusia menjadi titik…
Seseorang yang telah meleburkan batas-batas antara Pra-eternal dan Pasca-eternal… Seseorang yang, dengan mengaktualisasikan realitas jiwanya, telah menjadi bukan apa-apa dalam kodrat jiwanya yang tak-berbatas dan tak-hingga!
Ketika kami menyebut ketakhinggaan, maksud kami adalah Alam Nama-nama, karena sama sekali mustahil untuk merujuk kepada sifat Dzat AbsolutNya.