Namun, di sini kita mesti hati-hati untuk menghindari konsep yang biasanya keliru. Yakni berpikiran bahwa Keberadaan Absolut sebagai perancang atau pencipta yang ‘terpisah’ dari, atau berada di luar, alam bentuk-bentuk.
Ingatlah selalu bahwa kekuatan tak berbatas tak-hingga meliputi seluruh keberadaan. Tak ada yang lain selain keberadaan ini. Kata-kata seperti ‘Dia’ atau ‘milikNya’ digunakan di sini hanyalah karena keterbatasan bahasa. Allah tidak dapat didefinisikan dengan kata-kata.
Keberadaan relatif, yang kita rujuk sebagai ‘Aku’, pada akhirnya merupakan proyeksi otak kita terhadap komposisi-komposisi yang dibentuk oleh makna-maknaNya.
Proyeksi ini kemudian menggunakan kecakapan dan kemampuan, yang diberikan padanya, untuk memenuhi misinya atau mencapai tujuan sesuai rancangannya.
Tujuan akhir kita terdefinisikan pada titik kematian, dimana otak kita berhenti berfungsi, dan peralihan akan terjadi dari dimensi dan tubuh ini ke dimensi lain.
Cara hidup seseorang mendefinisikan bagaimana ia akan mati. Dan cara hidup seseorang didefinisikan dalam esensi tipikalnya, yang tercermin oleh kecakapan dan kemampuan bawaan lahir (fitrah alami kita).
Komposisi unik kita terbuat dari makna-makna Nama-namanya.
Kecapakan dan kemampuan khusus, yang menyusun komposisi kita, membimbing dan mengikat kita pada perbuatan tertentu, dan perbuatan-perbuatan ini kemudian membentuk dan merancang ruh kita dan menjadi ‘teguh’ pada titik kematian, yang dengannya kita melanjutkan kehidupan akhirat kita.
Karenanya, gaya hidup, perbuatan, kepribadian seseorang akan dibentuk dan terdefinisi oleh dan menurut rancangan yang hendak dicapai, yakni makna yang ditakdirkan untuk mewujud. [Yang mulanya sebagai esensi tipikal kemudian tumbuh dan berkembang, sepanjang kehidupan seseorang, hingga akhirnya menjadi teguh pada titik kematian.]
Setiap peristiwa, yang dijalani pada setiap tingkat keberadaan, merupakan ekspresi dari makna-makna yang Dia ingin lihat dalam DiriNya Sendiri.
Setiap unit keberadaan akan mengikuti persyaratan keberadaannya. Dengan mewujudkan komposisi uniknya, ia melaksanakan tugasnya sebagai hamba Allah.
Jadi, makna-makna yang membentuk manusia adalah makna-makna yang Allah ingin lihat dalam DiriNya.
Karenanya, Allah itu Al-Ghani (Yang tak dapat diberi label dan dibatasi oleh manifestasi Nama-namaNya, karena dia itu Maha Besar [Akbar] dan diluar jangkauan konsep-konsep) dan di luar bentuk atau kebutuhan apa pun. Karenanya, benar-benar tidak absah untuk memikirkan Allah sebagai ‘makna ini dalam bentuk itu’, atau membatasinya dengan mengatakan ‘Allah adalah seperti ini’ atau ‘Allah sebesar ini’. Layaknya menilai seorang seniman hanya dari satu karyanya yang ribuan jumlahnya, penilaian seperti itu tentunya tak dapat diterima!
Jika kita dapat memahami semua hal yang telah dibahas di sini, maka menjadi nyata bahwa kita harus melakukan segala upaya sebaik mungkin untuk mencapai tujuan kita.
Dikatakan bahwa:
“Allah tidak kan mengijinkan hambanya berdo’a yang tak hendak Dia kabulkan.”
“Jika Dia telah mengijinkan hambaNya untuk melakukan do’a tertentu, maka Dia sudah pasti akan menjawab do’anya.”
Jika Dia telah menganugrahi kita kapasitas untuk memahami kebenaran-kebenaran ini. Maka menjadi sangat mungkin bahwa kita akan melewati peristiwa-peristiwa yang akan mewujudkan makna-makna ini dalam diri kita.
Namun pertama-tama, kita mesti menyucikan jiwa kita, membersihkan diri kita dari pengkondisian kelima indera kita dan membuat lompatan ke dimensi kesadaran yang lebih tinggi.
Berdoa, yakni proses mengarahkan gelombang pikiran kita kepada tujuan ini, merupakan sarana kita yang paling ampuh!
Dan jika memenuhi tujuan kita telah ditakdirkan, maka kita tidak akan mengalami kesukaran yang banyak.
Namun apa arti sebenarnya dari takdir atau ketetapan agung ini?